PALU – Lima orang petani dan masyarakat adat Kabuyu Rabu malam (9/3/2022), diperiksa dan ditahan di oleh Kepolisian Pasang Kayu, Sulawesi Barat (Sulbar).
Upaya penahanan terhadap mereka karena dugaan tindak pidana pengancaman sesuai pasal 335 KUHP. Kelimanya diperiksa sebagai saksi, yaitu Agus (66), Suarka (66), Lodra (58), Halima (55, perempuan) dan Dedi (30). Setelah diperiksa, tiga saksi diantaranya ditingkatkan menjadi tersangka, yaitu Dedi (30), Agus (66) dan Suarka (66).
Direktur Walhi Sulteng, Sunardi Katili, dalam releasenya, meminta Kapolres Pasang Kayu segera membebaskan kelima petani dan masyarakat adat kayubu tanpa syarat.
” Kelima petani kabuyu ini dicegat dalam perjalanan pulang dari Palu, lalu diarahkan ke Kantor Polres Pasangakayu untuk diperiksa, ” kata Undeng Sapaan akrabnya.
Sebelumnya pihak Polres Pasang Kayu telah melakukan pemanggilan terhadap kelima petani dan warga adat tersebut pada 1 Maret 2022 lalu. Hal ini mendasari Laporan Polisi Nomor : LP/B/39/II/2022/SPKT/POLRES PASANGKAYU/POLDA SULAWESI BARAT, tanggal 25 Februari 2022 dan Surat Perintah Penyidikan Nomor : SP. Sidik/37/II/2022/Reskrim, tanggal 1 Maret 2022.
Undeng menjelaskan, petani dan masyarakat adat kabuyu sejak 1991 telah memperjuangkan hak atas tanah ulayat mereka yang diduga dikuasai dan diklaim PT. Mamuang salah satu anak perusahaan perkebunan sawit Grup PT. Astra Agro Lestari (AAL) di Pasang Kayu.
” Situasi tersebut terus berlangsung hingga kini, seperti tak mengenal menyerah ditiga bulan terakhir ini, masyarakat adat kabuyu terus melakukan perlawanan dengan pendudukan tanah yang diyakini milik leluhur mereka yang berada di luar wilayah HGU PT. Mamuang, ” jelasnya.
Masyarakat adat kabuyu hampir 32 tahun hidup bertahan ditengah kemelut keterbatasan ruang penghidupan, terpinggirkan oleh investasi perkebunan sawit, hidup bermukim dan bertani dibantaran sungai Pasangkayu sekaligus jadi tanggul hidup perkebunan sawit Grup Astra ini.
” Kerusakan ekologis tak terelakkan, perampasan ruang kelolah perekonomian warga adat, memanfaatkan keterbatasan akses informasi serta matinya hak keperdataan pengakuan entitas warga negaranya, adalah potret mirisnya tata kelola perkebunan dan pelayanan bagi kehidupan warga di sana,” tutup Undeng.* (samsir)